Fri, 11 Mar 2011
“Buruan make a wish, dong...!” seru Shishi, anggota Cheerleaders SMANSA yang hobinya Dance. Rambutnya yang panjang bergelombang se-punggung dan wajahnya yang cantik eksentrik membuatnya dapat langsung terlihat. Berdiri berjingkat, karena tinggi badannya yang kurang dari tinggi badan Lino yang juga besar proporsional. Shishi terlihat di dekat papan tulis.
Kenny melangkah mendekti kue ulang tahunnya, yang mungil, memejamkan mata dan berharap. Membuat harapan dari umurnya yang menginjak masa-masa manis. Sweet Seventeen.
Semoga hubungan gua sama Marie bisa balik lagi kayak pertama gua ketemu.
Kenny membuka kembali matanya. Memandang kue itu lekat-lekat. Lilin berangka 17 tengh meleleh perlahan, menjadi cair karena api mungil yang berpijar di sumbunya. Kenny meniup api yang berpijar pada lilin, kemudian tepukan tangan riuh membangunkan dirinya dari keheningan sesaat. Mereka yang berbahagia karenanya bergegas menghampiri Kenny, menyalaminya dan berikan ucapan selamat.
Morning sunshine in our room
Now that room is back ini tune
Autumn start this day with a smile
And laugh at my beautiful love one
Who’s laying besides me
You so far away in your sleep
Who can tellwhat dream you may dream
You dont know that i was drawing
With my finger on my sweet young face
Vague as a meaning words
You make my world so colorful
I never had it so good
My love i thank you for all the love
You gave to me
You make my world so colorful
I never had it so good
My love i thank you for all the love
You gave to me
You Make My World So Colorful mengalun lembut dari atas ruangan. Suara itu berasal dari speaker yang terdapat di setiap kelas. Tepatnya di sebelah proyektor. Lagu dari Daniel Sahuleka ini begitu lembut. Menghiasi setiap senyum, canda dan tawa pagi itu. Mereka berbagi suka di dalam ruang kelas, tempat mereka menyatukan hati mereka, dalam kurun waktu dua tahun bersama. Kisah mereka di sekolah ini mungkin akan terhenti. Tapi itu tak menutup hati mereka. Untuk selalu mengenang saat ini. Di kelas ini. Dengan gorden peach orange membuat cahaya lampu pijar menguning, menambah suasana kelas menjadi hangat.
Foto mereka saat bersama, tergantung di dinding, sebelah meja guru. Bersanding dengan kalendar dan peta Kabupaten Karawang. Meja guru, berwarna coklat dan vas bunga mungil indah ikut menghiasi ruangan. Juga lemari kaca. Di dalamnya berisi miniatur kura-kura hijau. Semua, baik furniture maupun anggota keluarga kedua, menghabiskan sepanjang waktu, sebelum upacara pagi itu, dengan canda, dengan tawa, suka cita, dan kebahagiaan yang sangat. Sangat akan dirindukan.
Pelajaran Kimia, favorit kelas mereka. Mereka telah siap menelan segala yang akan seorang nenek berikan. Nenek yang merupakan guru paling berarti seantero SMANSA. Bahasanya yang gaul, namun tegas dan lucu membuatnya menjadi teladan bagi setiap siswa. Guru. Sedikit kasar mungkin. Tapi efektif. Selain itu, guru yang dipanggil Oma Ira ini punya pendirian yang kuat, dan berpandangan luas. Walaupun sedikit egois, namun tak jadi soal. Semua menghormatinya. Dia telah membuka pintu yang terletak di timur laut tempat Kenny duduk.
“Assalamualaikum!” seru-nya kepada seluruh makhluk penghuni kelas itu. “kita ada murid pindahan dari Bandung,” tambahnya. “KM jelek! Mana tuh orang jelek?”
“hadir, Bu! Selalu!” jawab Kenny.
“suruh temen sebelah lu pindah. Murid ini pinter. Gua yakin dia bisa ngajarin lu yang payah. Daripada lu duduk ama cowo yang bibirnya harus diberi.” Perintah Oma Ira, sambil menunjukka kepalan tangannya kepada teman Kenny, berbadah tinggi, berbibir ganda. Berlipat tepatnya.
Akhirnya Qariz harus menurut untuk pindah, duduk dengan Dhilan, cowo yang sedari semester satu duduk sendiri. Sebelumnya, total murid 47. Dan kini bertambah satu. Kelas ini kelas IPA termakmur dengan jumlah siswa yang membludak, sepanjang sejarah SMANSA.
“eh, cewe jelek, masuk sini! Bentar lagi gua mau kasih ulangan.” Perintah Oma. Mata Kenny melebar, namun ekspesinya datar. Kenny sudah mengenalnya, jauh sebelum ruangan itu menjadi riuh karena kedatangan Marie, yang menjadi sang murid pindahan.
Senyum Marie merekah. Terdengar bla dan bla sana-sini mengenai Marie, entah dia berasal dari Bandung, entah dia cantik, semampai, bidadari pribumi, dan macam-macam chit-chat anak SMA seputar hebatnya semua kaum Hawa yang berasal dari Bandung. Terutama anak laki-laki. De javu. Pemandangan ini terulang, sama seperti dulu.
“hai, nama saya Marie. Saya dari SMA 17 Bandung. Seneng bisa kenal sama kalian.” Perkenalan Marie ternyata hanya cukup sampai di situ. Wajah Oma kini berubah sedikit tak sabar menyiksa Kenny dan semua anak buahnya dengan beberapa amunisi yang sudah nenek itu siapkan.
“Enough! That’s enough! Gua mau ulangan, jadi langsung sana lu duduk sama KM bego di ujung sana. Cepet!” bentak Oma Ira. Marie langsung terbirit-birit. Bukannya muram dibentak oleh Oma, tapi ia senang bisa duduk dengan Kenny. Seisi kelas--kecuali Kenny-- bersuit-suit kepada Marie, namun Marie tak peduli. Dia lebih peduli tentang hatinya yang begitu senang duduk di sebelah Kenny.
Bel istirahat telah berteriak sejak lima menit lalu. Kenny duduk di anak tangga, tangga sebelah kelasnya. Tangga untuk naik ke lantai atas, tempat anak kelas sepuluh. Marie berjalan perlahan, menuju Kenny yang sedang tertunduk, agar Kenny tidak menyadari kedatangan dirinya. Tapi itu sia-sia baru beberapa langkah Kenny sudah menyadari Marie yang sedang menuju tempatnya sekarang.
“Kenapa kamu milih kelas aku?” tanya Kenny. Nadanya datar, kepalanya pun masih tertunduk. Ia mengetahui itu Marie dari parfum yang Marie pakai. Karena kemarin pagi pun Marie memakainya, saat mereka bertengkar. “masih banyak kan kelas lain yang ga sepenuh kelas aku?”
“Ternyata kamu KM ya...aku ga nyangka kamu bisa jadi seorang panutan kelas.”
“Itu ga ngejawab pertanyaan aku, Marie Santiago.” Kenny mulai gerah dengan segala yang Marie berikan hari ini. Tapi Marie sudah terbiasa. Wajah Marie masih secerah tadi.
“Dan kamu ternyata baik, sama seprti tujuh tahun lalu, dan perhatian. Ga seperti di keluargamu, kepada kakakmu. Dan sikap kamu ke aku juga kemarin.” lanjut Marie seolah tak perduli dengan pertanyaan Kenny. Kenny bangun dari tempatnya. Wajahnya datar, selalu seperti itu untuk Marie.
“itu bukan urusan kamu. Kamu ga bakal kenal aku kayak dulu lagi, dan aku juga udah ga mau tau apa aja tentang kamu. Udah 5 tahun, dan semuanya udah berubah. Dan aku udah ga peduli sama semuanya sekarang.”
“oh ya?” tantang Marie.
“ya.” Jawab Kenny mantap.
“lalu, kenapa kalung yang aku kasih ke kamu 7 tahun lalu masih kamu pake?” tanya Marie, merasa menang.
“kamu mau minta ini balik?” Kenny melepaskan kalungnya, kalung manik-manik yang dibuat sekenanya, dan sudah hampir putus. Mungkin karena talinya yang terbuat dari benang wool yang digunakan untuk merajut sudah habis masa layaknya. Di kalung itu dipasang bandul tengkorak hitam mungil. Sudah keropos, sedikit memudar warna hitamnya.
“ga usah, itu udah jadi milik kamu dari 7 tahun lalu.” Marie masih tersenyum. “aku mau ngasih ini, kalo kamu masih ngehargain cewe, kamu terima ini ya.” Marie memberikan sebuah kotak mungil dark chocolate berpita bright gold. Kenny menerimanya, hanya untuk menghargai pemberian seorang wanita. “happy sweetseventeen...” tambah Marie, tersenyum dan berbalik, yang kemudian melangkah menuju kelas. Kenny hanya tertegun sepanjang saat itu.
“Ken, dari siapa tuh?” Kenny masih terdiam, membeku dengan pandangan yang melekat pada kotak pemberian Marie. Padahal dari tadi Lino menanyainya. Sudah berulang kali malah. Tapi tetap saja Kenny seolah sudah tidak memiliki lagi jiwa dalam jasadnya. “woy!”
Setelah tangan Lino menepuk kening Kenny, barulah ia tersadar, tengah makan di tempat makan di tempat makanan siap saji bersama 3 orang temannya, 3 idiot SMANSA. Makanan yang ia pesan masih belum tersentuh, padahal makanan itu sudah berdiam di tempatnya, tepat di depan wajah Kenny sejak sepuluh menit lalu.
“ups, sorry. Apaan, No?” tanya Kenny, rasanya seperti dibangunkan dari mimpi panjang. Dia memandang ketiga temannya, yang sekarang, berwajah khawatir. Bertanya-tanya ada apa dengan bocah yang baru akil balig itu.
“lu kenapa sih, Ken?” Lino mulai angkat bicara lagi. Laki-laki bertubuh besar dan tingginya yang melebihi Kenny empat sentimeter inikhawatir dengan sikap temannya yang tidak biasa ini. Pipinya yang sedikit chubby dan hidungnya yang juga sedikit besar, menjadi tak karuan dengan mimikny yang sekarang. Namun dia yang paling punya aura percaya diri diantara mereka berempat. “terus, itu dari siapa?” tambahnya.
“gua...gua aneh ya?” Kenny balik meminta pendapat.
“banget. Gua aja bingung di depan gua sekarang Kenny apa bukan.” Kali ini bukan Lino yang berkomentar, namun Dagri. Saat kelas sepuluh, Dagri memang lebih tinggi dari Kenny. Namun Kenny lebih tinggi beberapa senti darinya sekarang.
“gua...gua Cuma lagi galau, cuy..” jawab Kenny sekenanya, sambil tersenyum yang dipaksakan.
Perhatian kepada seluruh pengunjung Mal Karawang, bagi yang bernama Kenny Deranjaro Porta, dari SMA Negeri 1 Karawang, diharapkan menuju Zone2000. Keluarga sedang menunggu. Silahkan kembali pada kegiatan anda kembali, terima kasih.
Kenny terlonjak dari tempat duduknya. Apalagi yang akan ia dapat hari ini? Begitu banyak hal yang terjadi hanya dalam waktu beberapa jam.
“Ken, nama lu disebut tuh!” Mirham setengah berteriak. Girang sekali Mirham, anggota terakhir 3 Idiot SMANSA. Panggilannya Shrek karena badannya yang tinggi besar juga sedikit gelap. Namun wajahnya eksentrik.
“apaan lagi coba yang gua bakal dapet hari ini?” gerutu Kenny, meratapi dirinya, yang sudah kenyang dengan segala surprise yang ia dapat hari ini.
“mau kita temenin ga?” tawaran itu diajukan oleh Lino.
“boleh, langsung aja yuk! Gua udah males lama-lama keluyuran. Nanti gua tambah sial lagi kalo lama-lama di luar rumah.”
Mereka berempat telah beranjak, meninggalkan tempat mereka, melewati sebuah pintu kaca, yang disebelahnya berdiri patung kakek tua bertongkat dan sudah ubanan memakai jas putih sedang tersenyum ke segala arah.
Tinggal menaiki satu buah eskalator lagi, Zone2000. Kenapa harus tempat itu? Entahlah, Kenny pun merasa tersentil. Tiga orang temannya mengikuti, berharap-harap cemas sesuatu yang buruk akan terciprat pada diri mereka. Sudah di tangga terakhir sebelum sampai tujuan. Namun sekilas dalam otaknya, Kenny merasakan sesuatu yang buruk. Melesat begitu saja, perasaan yang makin memuncak, sadar akan ada bahaya. Ia membalikan badannya, berteriak pada ketiga temannya.
“guys! Lu pada harus pergi! Gua punya firasat engga enak!”
“emang kenapa?” Shrek ikut-ikutan berteriak. Semua pandangan tajam mengarah pada keempat orang itu. Merasa terganggu dengan kegaduhan tersebut mungkin.
“gua ga tau, mending kalian tunggu di bawah aja deh! Buruan balik turun sekarang!” Mengejar waktu yang semakin memburu, Kenny melesat menaiki tangga eskalator yang tengah berjalan, bergegas sebelum firasatnya benar-benar terjadi. Sedangkan ketiga temannya pun berbalik dan melesat melawan arah tangga eskalator, untuk menuruninya.
Sampai. Zone2000 sudah terlihat. Kenny, melihat mahluk venus yang cantik sedang berdiri, menunggu kedatangan seorang Kenny yang begitu membenci dirinya. Mungkin, memang sudah saatnya Kenny memperbaiki seluruh hubungan buruknya, semua yang sudah ia telan 5 tahun ini, untuk bersikap baik, dan memujanya seperti dulu.
Pandangan mereka bertemu. Kini, Kenny memaksakan bibirnya untuk sedikit merekah. Wajahnya yang biasa datar untuk diri Marie Santiago, akan ia rubah sejak sekarang. Dan tugas pertama yang akan ia laksanakan, meminta maaf pada wanita manis itu. Marie tak menyangka wajah itu akan bersinar lagi kepadanya. Ia pun memberikan senyuman termanis yang pernah ia miliki. Wajahnya merah merona kini.
Marie dapat melihat kotak pemberiannya tergenggam oleh tangan kokoh Kenny, di sebelah kanan. Ia senang, dan menyadari mungkin Kenny akan menerimanya lagi, seperti sebelum saat itu. Muncul lagi, ketegangan yang sangat kentara. Sesuatu yang buruk tengah memburunya.
Bersama dentuman yang dahsyat ia merasakan dirinya terhempas menjauhi Marie. Kepulan asap melesat dengan cepat, menutupi seluruh permukaan lantai 2 itu. Tak terlihat apa-apa lagi disana, hanya kepulan asap yang menutupi segala sesuatunya yang mungkin saja hancur.
Seluruh tubuhnya terasa remuk dan panas. Kenny tak dapat berbuat apa-apa, walaupun itu hanya menjentikan seujung jarinya. Udara berpasir menghalangi pandangannya. Tubuhnya mengeluarkan banyak darah, ia tahu itu. Saat dirinya terhempas, ia menubruk-nubruk benda padat yang entah apakah itu. Ia tergeletak tak berdaya bersama orang-orang yang sudah tak memiliki jiwa.
Dari hidung, telinga, dan kepalanya yang terbentur keras mengalir darah segar yang hangat. Kesadarannya semakin memudar. Namun ia teringat gadis cantik yang menunggunya. Marie. Bagaimana keadaannya saat ini, Kenny tak tahu. Dia berdoa pada Tuhan;
Tuhan, aku belum minta maaf pada Marie. Aku ingin dia tahu, aku memang bener-bener cinta sama dia, walau belakangan ini sikapku kasar. Sungguh, aku ingin waktu memperbaikinya, melalui apapun yang bisa membantu waktu memperbaikinya. Mungkin waktuku sampai disini. Terima kasih Tuhan, kau telah menciptakan waktu, yang walaupun begitu kejam, telah mempertemukanku dengannya 5 tahun silam. Kumohon, kepada waktu untuk memperbaiki segalanya.
Kenny sudah tak sadarkan diri. Tergeletak bersama darahnya yang masih mengalir. Bersama segala sesuatu yang telah hancur karena ledakan bom bunuh diri. Lantai 2 Mal Karawang hancur total. Tak lama, 3 orang temannya berteriak histeris. Suara ketiganya menyayat setiap telinga yang mendengarnya. Tapi Kenny tak mendengarnya. Jiwanya sedang berkelana, dan sang waktu menemaninya.
∞∞∞
Tahun 2004 sudah menginjak masa tengahnya. Bulan Mei yang hangat baru saja menyambut Kenny, yang kini sedang melangkah memasuki kelas. Semuanya riuh. Hilir mudik bocah-bocah kelas 5 SD dalam kelasnya, berlarian dan berseru-seru dengan kentara. kegaduhan Pasar ikan pun kalah oleh paduan suara berbagai jenis bocah yang rata-rata berumur sepuluh hingga sebelas tahun itu.
Lonceng berteriak, tanda dimulainya waktu untuk memperoleh berbagai ilmu baru. Ibu guru setengah baya itu masuk, menggenggam pergelangan tangan seorang gadis kecil yang manis, di tangan kanannya. Sedangkan tangan satunya menenteng sebuah tas Sophie Martin hitam pudar yang mengembang, mungkin akibat isinya yang membludak.
∞∞∞
“anak-anak, kalian dapat teman baru. Dia dari Bandung” jelas Bu guru.
“Bu, pelajaran Kesenian sekarang kan?” tanya Kenny.
“kaga, tahun depan! Hahahahahaha...” suara tawa menabrak-nabrak dinding kelas yang kini bergetar karena kegaduhan.
“hai, nama aku Marie. Marie Santiago.” jelas gadis manis itu.
“siapa yang mau duduk sama-sama Marie?” tanya bu guru menggugah semangat. Seluruh anak laki-laki mngangkat jari telunjuk mereka tinggi-tinggi. Tak mau kalah, beberapa anak menaiki kursi mereka sambil tetap mengangkat jari. Hanya Kenny yang tidak tertarik. Dia lebih suka mencorat-coret halaman bukunya yang paling belakan, serta sesekali memandang ke luar kelas.
“kamu duduk sama Kenny, ya. Yang di sana tuh. Dia lagi bengong melihat ke arah pintu. Ya?” pinta bu guru pada Marie, yang memang sedari tadi mengagumi Kenny. Ketika orang lain menginginkan gadis mungil itu untuk duduk dengannya, Marie melihatnya yang tak begitu peduli. Membuatnya berfikir Kenny itu spesial.
“ya, Bu.” Marie mengangguk, kemudian tersenyum pada wanita pekerja keras itu. Kerutan di wajahnya terlihat, membuatnya terlihat sangat lelah dalam menjalani kewajibannya. Namun senyum wanita tua itu hangat, penuh kasih sayang.
Marie bergegas menuju tempat Kenny, tempat yang akan menjadi tempatnya pula untuk beberapa bulan kedepan. Sebelum dia kembali ke Bandung lagi, bersama ayahnya yang kini sedang mengurus proses perceraian. Ia ke Karawang karenya pesan kedua orang tuanya, memintanya tinggal dengan tantenya agar kedua orang tuanya bisa menyelesaikan peekerjaan rumah tangga mereka. Marie tak pernah tahu kalau orang tuanya akan bercerai. Yang ia tahu, orang tuanya kurang rukun.
“hai, aku Marie.” suara lembutnya mengaketkan lamunan Kenny. Kenny spontan, dengan cepat menolehkan wajahnya ke belakang. Wajah mereka hampir bertabrakan. Hanya berjarak 2 senti sekarang. Seluruh wajah menghadap mereka berdua, seluruh siswa, baik perempuan maupun laki-laki bersuit-suit, kembali menciptakan kegaduhan sesaat.
Selama dua bulan mereka sudah saling mengenal dengan baik satu sama lain. Sangat baik. Mengetahui makanan favorit, tempat impian, lagu, buku cerita, film favorit mereka. Kenny lebih bersemangat untuk bersekolah sejak itu. Marie yang begitu baik dan pengertian membuatnya berubah dari sifatnya yang pendiam, muram dan sukar berkomunikasi dengan orang lain. Semua temannya pun kini tidak sungkan dan mengurangi ejekan mereka pada Kenny, karena mereka sudah mengetahui bahwa Kenny ternyata sangat baik.
Mereka berdua duduk di bawah pohon jambu air besar yang rindang, dimana banyak sepeda berjejer tak beraturan menemani mereka. Marie mengajak Kenny berfoto dengan kamera Handphone Nokia 6600-nya. Mereka berfoto. Manis sekali hasil potretan itu.
sumber : google